Alperklinas.WahanaNews.co | Pemerintah harus membuka mata lebar-lebar mengenai ancaman kelebihan pasokan listrik yang saat ini masih berlangsung. Pasalnya, jika dibiarkan dapat terus menggerus keuangan negara.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra Talattov menyebut bahwa rata-rata kelebihan pasokan listrik RI dalam satu dekade terakhir mencapai 25% per tahun.
Baca Juga:
PLN Rayakan Hari Kebangkitan Nasional dengan Promo Tambah Daya Listrik Hemat 50%!
Pada 2021 misalnya, dari kapasitas terpasang listrik 349 ribu Giga Watt hour (GWh), energi yang terjual hanya 257 ribu GWh, artinya ada selisih 26,35% listrik yang tidak dimanfaatkan.
Dalam catatan INDEF, dari kelebihan pasokan listrik 25% itu, PLN menanggung beban hingga Rp 122,8 triliun pada 2021.
Abra menjelaskan, nilai tersebut berasal dari asumsi biaya pokok perolehan listrik itu Rp 1.333 per kWh, lalu jika dikonversi dengan over supply yang 26,3% pada 2021, maka diperoleh potensi pemborosan akibat over supply sebesar Rp 122,8 triliun pada 2021.
Baca Juga:
Yuk Mari Ramai Daftarkan ! PLN Hadirkan Promo Tambah Daya 50%,Spesial Sambut Harkitnas
Guna menghindari beban biaya tersebut, Abra mengungkapkan ada beberapa solusi agar serapan listrik di tubuh perusahaan setrum lebih optimal.
Pertama, mengevaluasi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 35.000 Mega Watt (MW) karena permintaan listrik nyatanya tidak sebesar prediksi beberapa tahun lalu.
"Kedua, perjanjian jual beli listrik yang memberatkan keuangan PLN dengan skema Take or Pay, ini harus dievaluasi ulang agar PLN punya daya tawar menolak pembelian listrik jika pasokan berlebih," tuturnya kepada CNBC Indonesia, Jumat (30/09/2022).
Ketiga, lanjutnya, mempercepat program pensiun dini PLTU batu bara melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 112 tahun 2022, sehingga kelebihan pasokan di hulu bisa ditekan dan pengalihan ke Energi Baru Terbarukan (EBT) dipercepat.
Selain itu, menurutnya pemerintah sebaiknya juga mengevaluasi pemberian izin usaha penyediaan listrik dan captive power (pembangunan pembangkit listrik untuk penggunaan sendiri/ industri tertentu).
Pasalnya, menurut Abra pemberian izin kepada industri untuk pengoperasian pembangkit sendiri merupakan sikap inkonsistensi, antara rencana penambahan listrik baik yang dilakukan oleh PT PLN maupun pengembang listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP).
"Ada inkonsistensi lah. Kalau begitu asumsi kapasitas yang baru itu diserap oleh industri yang mana. Jadi RUPTL yang dibangun ini jelas lebih kental pendekatannya dari sisi supply bagaimana matching-nya dari sisi demand," ujarnya.
Menurut dia, seharusnya pemerintah dapat memperhitungkan apakah ada keterkaitan antara proyeksi tambahan supply listrik dengan proyeksi pertumbuhan demand listrik per wilayah masing-masing.
"Kalau ada kawasan industri khusus yang diperbolehkan gunakan listrik dari pembangkit sendiri seharusnya proyeksi di wilayah itu bisa dirasionalisasi. Jadi mendasarkan proyeksi itu terhadap kebutuhan listrik dari masing-masing region," ujarnya.
Sehingga, jangan sampai PLN dan IPP sudah mengeluarkan investasi yang cukup besar untuk menambah kapasitas pembangkit listrik, namun ketika sudah siap tidak ada yang menyerap. Akibatnya, perusahaan semakin merugi. [tum]