Wahanatani.com | Presiden G20 Indonesia menjadi salah satu ajang pembuktian bagi Indonesia dalam membangun ekosistem kendaraan listrik yang sedang tumbuh pesat.
Penggunaan kendaraan listrik dan infrastruktur pengisian baterai bahkan mendai keseriusan pemerintah dalam menjalankan transisi energi berkelanjutan dan berkesibambungan.
Baca Juga:
Rusia: Presidensi Indonesia Sukses Jaga G20 Tanpa Politisasi
"Membangun ekosistem kendaraan listrik merupakan salah satu upaya pemerintah untuk merealisasikan penerapan transisi energi berkelanjutan atau energi hijau. Tujuannya untuk mengajak masyarakat menggunakan transportasi yang ramah lingkungan," kata juru bicara pemerintah untuk presidensi G20 Indonesia Maudy Ayunda dalam keterangan pers secara virtual di Jakarta, Kamis (11/13).
Menurut Maudy, transisi energi berkelanjutan memiliki tingkat urgensi yang sangat tinggi sehingga harus menjadi perhatian semua pihak. Masyarakat pun bisa turut ambil bagian untuk terlibat langsung dalam mendukung hal tersebut. "Aktivitas sederhana yang secara perlahan bisa kita transisikan adalah penggunaan transportasi umum untuk mengurangi energi gas buang," harapnya.
Selama gelaran G20, ungkap Maudy, kendaraan listrik juga dimanfaatkan sebagai transportasi utama. Hal ini sekaligus sebagai salah satu strategi untuk mencapai target indonesia menurunkan emisi sebanyak 29 persen pada 2030 dan emisi nol pada 2060.
Baca Juga:
Perekonomian Nasional Diyakini Mampu Lewati Hadangan “Awan Gelap” Ekonomi Global 2023
Sebagai salah satu isu prioritas Presidensi G20 Indonesia, pemerintah menyoroti dampak perubahan iklim yang diakibatkan oleh sektor energi yang relevan dalam keseharian masyarakat. Peralihan menuju energi bersih diharapkan menjadi titik tolak bagi semua pihak negara G20 dalam mengatasi ancaman serius isu tersebut sebagai kesepakatan bersama (global deal) yang perlu segera ditangani.
Sektor energi merupakan kontributor perubahan iklim paling dominan yang menyumbang hampir 90 persen dari emisi CO2 secara global. Studi terbaru bahkan menyebutkan suhu tahunan bumi diperkirakan naik hingga 1,5 derajat celsius selama lima tahun ke depan. Aktivitas manusia juga telah berdampak luas pada kerusakan atmosfer, laut, kriosfer, dan biosfer, sehingga mengakibatkan kerugian dan kerusakan alam permanen di muka bumi," ungkap Maudy.
Fakta terbaru yang diungkap oleh World Health Organization (WHO) menyatakan perubahan iklim memang ancaman terbesar kesehatan global di abad 21. "Munculnya banyak penyakit baru sampai menyebabkan pandemi di seluruh dunia termasuk Indonesia adalah salah satu dampak nyata ancaman perubahan iklim ini," jelas Maudy.