Alperklinas.WahanaNews.co | Surya Darma, Pengamat Energi Terbarukan (EBT) keberatan dengan isi Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBT) yang memuat soal nuklir.
Menurutnya, RUU EBT ini sudah tidak lagi sejalan dengan tujuan awal yang ingin mendukung pengembangan energi terbarukan di Indonesia yang penuh ketidakpastian. Padahal, pengembangan EBT sudah masuk dalam target Kebijakan Energi Nasional (KEN).
Baca Juga:
ALPERKLINAS Dukung Rencana PLN Ubah Tiang Listrik Jadi SPKLU, Utamakan Keselamatan Masyarakat
"Berbagai Asosiasi energi terbarukan dan CSO (civil society organizations) merasa keberatan, sebab tidak sesuai dengan upaya meningkatkan peran energi terbarukan dan bauran energi nasional," ujarnyadikutip dari CNNIndonesia.com, Selasa (11/10).
Awalnya, sambung Surya, RUU EBT ini dinamakan RUU ET (energi terbarukan) yang menjadi inisiatif DPD RI pada 2018 lalu. Rancangan beleid ini sedianya hanya fokus pada dorongan pengembangan energi terbarukan, tidak termasuk energi baru yang di dalamnya juga ada nuklir.
Namun, pada 2019, DPR RI dalam hal ini Komisi VII mengajukan RUU EBT yang isinya selain membahas payung hukum ET, juga memasukkan unsur nuklir dan batu bara. Padahal, harusnya dua energi baru tersebut dimuat dalam UU 10/1997 tentang Ketenaganukliran, UU tentang Migas, dan UU Tentang Minerba.
Baca Juga:
ALPERKLINAS Dukung Rencana PLN Ubah Tiang Listrik Jadi SPKLU, Utamakan Keselamatan Masyarakat
Hal ini lah yang menjadi penolakan para asosiasi energi terbarukan. Sebab, ia menilai tidak relevan ada tumpang tindih aturan antara mengembangkan energi terbarukan, namun tetap ada unsur fosil di dalamnya.
"Memasukkan unsur energi baru, berarti juga nanti mendorong pengembangannya juga akan memberikan insentif kepada energi fosil yang seharusnya akan semakin dikurangi dalam pelaksanaan transisi energi di Indonesia," jelasnya.
Senada, Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Fabby Tumiwa juga keberatan jika unsur nuklir masuk dalam RUU EBT ini. Pasalnya, ia merasa tak menjawab persoalan utama energi terbarukan untuk menurunkan energi karbon.
"Untuk PLTN, seperti saya sampaikan hal-hal yang berkaitan dengan nuklir dikembalikan saja ke UU Ketenaganukliran, begitu juga dengan batu bara bisa ke UU minerba," kata Fabby.
Sementara, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan memberikan enam catatan bagi pemerintah jika memasukkan unsur nuklir dalam RUU EBT.
Pertama, faktor kesiapan transmisi dan distribusi milik PLN dalam menyerap listrik dari nuklir. Hal ini untuk mengantisipasi jaringan PLN yang tidak siap, seperti terjadi black out, maka bisa berbahaya bagi PLTN.
"Bisa menyebabkan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan," jelas Mamit.
Kedua, faktor safety atau keamanan. Pemerintah harus melihat sejauh mana kesiapan pembangunan PLTN bisa tetap aman dan tidak menimbulkan bencana.
Ketiga, faktor Sumber Daya Manusia (SDM). Sebab, kegiatan tersebut sangat beresiko, maka dibutuhkan SDM yang betul-betul mumpuni dan bisa menguasai teknologi nuklir.
Keempat, faktor penanggulangan limbah nuklir. Pemerintah harus bisa memastikan bahwa limbah yang dihasilkan nuklir benar-benar tersimpan dengan aman dan kuat.
Kelima, faktor geografis. Pemerintah juga harus bisa memastikan daerah yang akan dibangun PLTN bebas dari gempa dan gangguan alam yang bisa merusak PLTN.
Keenam, faktor sosialisasi dan penerimaan masyarakat. Dalam hal ini, Mamit menilai pemerintah harus bisa mendapatkan persetujuan masyarakat dalam pembangunan PLTN, sehingga tidak menimbulkan masalah di masa depan. [tum]