Alperklinas.WahanaNews.co | Mamit Setiawan, Direktur Eksekutif Energy Watch memperingatkan pemerintah dan DPR soal pengaturan nuklir yang ada di Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBT).
Peringatan terkait Pasal 12 ayat satu beleid tersebut yang menuliskan pemerintah pusat dapat menetapkan badan usaha milik negara (BUMN) yang melakukan kegiatan pertambangan bahan galian nuklir.
Baca Juga:
Jepang Tegaskan Pelepasan Air Olahan ALPS Fukushima Penuhi Standar Keamanan Internasional
"Untuk poin penting utamanya ini nuklir, saya kira cukup banyak yang menjadi perhatian pastinya," ujar Mamit mengutip CNNIndonesia.com, Senin (10/10).
Ia mengatakan setidaknya ada enam hal yang dinilai harus menjadi pertimbangan pemerintah dalam menetapkan aturan ini tentang nuklir ini. Pertama, faktor kesiapan transmisi dan distribusi milik PLN dalam menyerap listrik dari nuklir.
Hal ini penting untuk mengantisipasi jaringan PLN yang tidak siap, seperti terjadi black out, maka bisa berbahaya bagi PLTN.
Baca Juga:
Utusan China Serukan Pengawasan Internasional atas Pembuangan Nuklir PLTN Fukushima
"Bisa menyebabkan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan," imbuhnya.
Kedua, faktor safety atau keamanan. Pemerintah harus melihat sejauh mana kesiapan pembangunan PLTN bisa tetap aman dan tidak menimbulkan bencana.
Ketiga, faktor Sumber Daya Manusia (SDM). Sebab, kegiatan ini sangat beresiko, maka dibutuhkan SDM yang betul-betul mumpuni dan bisa menguasai teknologi nuklir.
Keempat, faktor penanggulangan limbah nuklir. Pemerintah harus bisa memastikan bahwa limbah yang dihasilkan nuklir benar-benar tersimpan dengan aman dan kuat.
Kelima, faktor geografis. Pemerintah juga harus bisa memastikan daerah yang akan dibangun PLTN bebas dari gempa dan gangguan alam yang bisa merusak PLTN.
Keenam, faktor sosialisasi dan penerimaan masyarakat. Dalam hal ini, Mamit menilai pemerintah harus bisa mendapatkan persetujuan masyarakat dalam pembangunan PLTN.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai RUU ini tidak tepat karena memuat dua hal yakni energi baru dan energi terbarukan.
Menurut Fabby, isi RUU ini harusnya hanya berisi pengaturan tentang energi terbarukan seperti air, angin, panas, hingga biomassa.
"Harusnya RUU Energi Terbarukan. Tidak tepat ada Energi Baru. Apalagi Energi Baru di sini adalah soal batu bara dan nuklir (PLTN)," imbuhnya.
Fabby menilai jika pemerintah ingin mengembangkan PLTN, maka sebaiknya itu dilakukan melalui revisi UU Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran.
"Dengan demikian RUU ini bisa fokus pada pengembangan energi terbarukan yang selama ini tertinggal," tegasnya.
Pemerintah dan DPR sedang menyiapkan RUU EBT. Dalam draf ruu yang didapat CNNIndonesia.com, ada beberapa poin penting yang akan diatur dalam ruu tersebut.
Salah satunya, pembentukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mengelola tambang bahan galian nuklir.
Dalam beleid itu, pemerintah pusat berwenang untuk menetapkan BUMN yang berhak mengelola tambang nuklir. Dengan catatan, BUMN tersebut wajib memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah pusat.
"Pemerintah pusat dapat menetapkan badan usaha milik negara yang melakukan kegiatan pertambangan bahan galian nuklir," demikian bunyi Pasal 12 ayat (1), seperti dikutip pada Senin (10/10).
BUMN pun diperbolehkan untuk bekerja sama dengan badan usaha milik swasta. Adapun pertambangan yang dimaksud, termasuk pertambangan yang menghasilkan mineral ikutan radioaktif.
Selanjutnya, badan usaha terkait pertambangan dan mineral batu bara yang menghasilkan mineral ikutan radioaktif wajib memiliki perizinan berusaha dari pemerintah pusat.
"Orang perseorangan atau badan usaha yang menemukan mineral ikutan radioaktif, wajib mengalihkan pada negara atau badan usaha milik negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," sambung beleid itu.
Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto mengatakan ruu itu merupakan inisiasi DPR.
"Ruu sebagai inisiatif DPR sudah diparipurnakan, tinggal menunggu surpres (surat presiden) yang disertai daftar infentarisasi masalah (DIM)," katanya. [tum]