Alperklinas.Id I Skema harga penjualan batu bara domestik atau Domestic Market Obligation (DMO) direncanakan akan dirubah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin.
Baca Juga:
Tak Mau Pasok Batu Bara ke PLN, Menteri ESDM Sebut 71 Perusahaan Melanggar Aturan DMO
Dia menjelaskan, pemerintah membuka opsi harga batas bawah (floor price) dari saat ini berlaku harga batas atas (ceiling price). Harga DMO untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) saat ini dipatok dengan harga US$ 70 per ton, sementara untuk pabrik pupuk dan semen ditetapkan sebesar US$ 90 per ton.
Menurutnya, ada lima permasalahan yang mendorong perubahan DMO ini. Pertama, kewajiban DMO sebesar 25% dikenakan kepada seluruh badan usaha pertambangan tahap operasi produksi.
Kedua, tidak semua spesifikasi batu bara yang diproduksi oleh badan usaha pertambangan punya pasar di dalam negeri. Ketiga, mengenai spesifikasi batu bara yang dimiliki pasar dalam negeri tidak semua diserap oleh pasar dalam negeri.
Baca Juga:
Harga Batu Bara Akan Meledak Lagi, Pengamat Sebut Keuntungan Besar Sudah di Tangan
Keempat, konsumsi batu bara dalam negeri lebih kecil dibandingkan produksi batu bara nasional.
"Dan terakhir tidak semua badan usaha pertambangan memiliki kesempatan mendapatkan kontrak penjualan dengan pengguna batu bara dalam negeri," ungkap Ridwan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI, Senin (15/11/2021) pekan lalu.
Ridwan mengatakan, Kementerian ESDM memiliki tiga usulan dalam memecahkan masalah ini. Pertama, pembangunan fasilitas pencampuran batu bara (coal blending facility) yang dikelola oleh badan usaha (BUMN/swasta) untuk mengolah berbagai spesifikasi batu bara agar sesuai dengan spesifikasi batu bara yang dibutuhkan di dalam negeri.
"Kedua, skema pengenaan dana kompensasi bagi badan usaha pertambangan yang tidak dapat memenuhi kewajiban DMO, yang selanjutnya dana tersebut digunakan untuk menambah subsidi bagi PLN atau untuk pembangunan coal blending facility," lanjutnya.
Kemudian yang terakhir adalah alternatif pengaturan harga batu bara dalam negeri, terdiri dari penetapan harga batas atas (ceiling price) seperti yang saat ini sudah dilakukan untuk kelistrikan umum, industri semen dan pupuk.
Namun menurutnya ada kendala dalam penerapan skema harga batas atas ini, karena produsen batu bara akan cenderung menghindari berkontrak dengan konsumen batu bara dalam negeri saat harga batu bara domestik jauh lebih rendah. Mereka akan lebih memilih untuk membayar denda.
"Saat harga naik, produsen batu bara berpotensi untuk menghindari berkontrak dengan pengguna batu bara dalam negeri dengan adanya penetapan harga batas atas," tuturnya.
Selanjutnya, opsi penetapan harga batas atas (ceiling price) dan harga batas bawah (floor price).
"Harga batas bawah bertujuan untuk melindungi produsen batu bara agar tetap dapat berproduksi pada tingkat keekonomiannya saat harga batu bara sedang rendah," ungkapnya.
Kemudian, pengaturan skema kontrak penjualan dalam negeri melalui skema kontrak harga tetap (fixed price) dengan besaran harga yang disepakati secara Business to Business (B to B).
"Skema ini akan memberikan kepastian bagi produsen batu bara maupun konsumen batu bara dalam negeri terkait jaminan harga dan volume pasokan," ucapnya.
PT PLN (Persero) pun angkat bicara mengenai hal ini. Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini mengatakan, DMO batu bara ditujukan untuk mengatur volume dan harga batu bara untuk industri di dalam negeri, sebagaimana diatur oleh pemerintah di dalam Peraturan Menteri ESDM.
Jika aturan DMO dilepas, maka menurutnya ini akan berdampak pada kepastian pasokan batu bara dalam negeri dan juga lonjakan biaya yang pada ujungnya bisa berdampak pada kenaikan subsidi atau tarif listrik masyarakat.
"Ini terkait energy security, kalau lepas DMO harus pikirkan apakah pasokan dalam negeri ini energinya akan secure? kalau gak pasti, listrik akan mati," ujarnya.
Lalu dampak lainnya jika DMO ini dicabut yaitu adanya kenaikan harga batu bara yang akan berdampak langsung pada Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik. Kenaikan ongkos produksi ini menurutnya juga akan berdampak langsung pada subsidi dan kompensasi listrik dari pemerintah ke PLN.
"Jadi biaya di PLN disalurkan langsung pada dua hal, subsidi dan kompensasi, apakah dengan kenaikan ini kita siap untuk menaikkan subsidi dan naikkan kompensasi," tanyanya.
Lebih lanjut dia mengatakan, jika tariff adjustment (tarif penyesuaian untuk golongan pelanggan non subsidi) semisal dilepas akibat dari kenaikan BPP, maka ini akan berdampak pada kenaikan tarif listrik ke konsumen yang tidak disubsidi. Sementara bagi pelanggan subsidi 450 VA dan 900 VA, bila tarif tidak dilepas, maka artinya subsidi listrik berpotensi naik.
"Subsidi saat ini masih ditanggung negara dalam bentuk kompensasi, apakah kita mau naikkan tarif listrik masyarakat akibat lepas DMO?" ucapnya.
Sementara itu, Wakil Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, konsumsi batu bara untuk domestik sekitar 130 juta ton. Setiap ada kenaikan US$ 1 saja, maka biaya akan naik US$ 130 juta atau sekitar Rp 2 triliun.
Saat ini harga batu bara di pasar menurutnya ada di sekitar US$ 180 per ton dan harga DMO batu bara untuk pembangkit listrik saat ini US$ 70 per ton.
"Ada US$ 100 perbedaan, kira-kira 130 juta dikali US$ 100 maka US$ 13 miliar, kalau high rank coals, ini kan low rank coal jadi perbedaan bukan US$ 100 tapi US$ 60-70 kali 130 sekitar US$ 8-9 billion, penambahan Rp 130 triliun per tahun," jelasnya.
Dia menjelaskan, dari penambahan Rp 130 triliun ini, seperempatnya ditanggung dalam subsidi sebesar Rp 40 triliun, sedangkan tiga per empatnya akan masuk ke kompensasi sekitar Rp 80 triliun. Jika tariff adjustment (tarif penyesuaian golongan non subsidi) dibuka, maka ini akan dibebankan ke pelanggan PLN.
"Pendapatan negara bukan pajak berapa? berapa dari pajak? perlu dihitung dan kira-kira Rp 130 triliun PNBP dan pajak mungkin 40% jadi ada pendapatan pajak dan bukan 40-50%, sisanya di-absorb dari korporasi, ditanggung pemerintah Rp 40 triliun dan konsumen Rp 80 triliun," paparnya.
Sebagai informasi, harga batu bara di pasar ICE Newcastle (Australia) pada perdagangan Selasa (16/11/2021) ditutup di US$ 151,25/ton, melesat 3,77% dibandingkan hari sebelumnya.
Harga si batu hitam mengalami technical rebound setelah turun selama lima hari perdagangan beruntun. Dalam lima hari tersebut, harga ambles 11,13%. (tum)