Alperklinas.WahanaNews.co | PT PLN (Persero) membatalkan program pengalihan kompor LPG 3 kg ke kompor listrik. Langkah ini dilakukan demi menjaga kondisi ekonomi masyarakat pasca pandemi covid-19
"PLN memutuskan program pengalihan ke kompor listrik dibatalkan," ujar Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo melalui keterangan resmi yang dikutip, Rabu (28/9).
Baca Juga:
Urgensi Krisis Iklim, ALPERKLINAS Apresiasi Keseriusan Pemerintah Wujudkan Transisi Energi Bersih
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai alasan PLN membatalkan rencana konversi kompor listrik karena mendapat banyak kritikan dari berbagai pihak.
"Memang ada gejolak di masyarakat ini akhirnya kebijakan (kompor listrik) dibatalkan," kata Mamit kepada CNNIndonesia.com.
Benar saja, kritikan kompor listrik memang disampaikan oleh banyak pihak, tak terkecuali para anggota dewan. Salah satunya anggota Komisi VII DPR RI Mulan Jameela yang menilai kompor listrik tidak cocok untuk masakan Indonesia.
Baca Juga:
Di COP29, PLN Perluas Kolaborasi Pendanaan Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2030
Kritik itu disampaikan Mulan berdasarkan pengalaman pribadinya. Ia mengaku tak bisa lepas dari kompor gas, meskipun sudah memiliki kompor listrik.
"Ini saya jujur ya, kapasitas saya sebagai anggota dewan dan sebagai emak-emak. Kami di rumah saja punya kompor listrik tetap tak bisa lepas dari yang gas karena masakan Indonesia ya beda bukan masakan orang bule yang pancinya ya seukuran begitu saja," tutur Mulan dikutip dari youtube Komisi VII DPR RI saat rapat kerja, Jumat (23/9).
Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) pun menolak rencana konversi kompor listrik dan meminta pemerintah tak memaksa masyarakat untuk beralih.
Presiden ASPEK Indonesia Mirah Sumirat khawatir konversi dari LPG 3 kg ke kompor listrik nantinya jadi dalih oleh pemerintah untuk memaksa masyarakat menaikkan daya listrik dari 450 VA ke 900 VA yang pada ujungnya memberatkan tagihan.
Kalau benar demikian, beban hidup masyarakat yang belakangan ini semakin meningkat akibat kenaikan harga bahan pokok dan BBM akan semakin berat.
"Pemaksaan penggunaan kompor listrik sama saja memaksakan masyarakat untuk menaikkan daya listrik menjadi 900 VA. Karena daya listrik 450 VA yang selama ini banyak digunakan oleh masyarakat, pasti tidak akan kuat jika harus dipaksakan dengan tambahan penggunaan kompor listrik," kata Mirah.
Tak ketinggalan, berbagai kritikan juga datang dari masyarakat melalui komentar di sosial media twitter.
Menurut akun @Nisatyas, masalah utama pada kompor induksi, yaitu perangkat masak yang harus diganti seluruhnya dari tradisional menjadi perangkat yang sesuai spesifikasi.
"Masalah utama kompor induksi adalah initial cost. Panci harus ganti semua (dan panci induksi sangat mahal). Banyak perangkat tradisional tidak compatible. Alat masak pun harus disesuaikan dan kalau mati lampu gak bisa masak. Siap jamin pasokan listrik stabil?" ujarnya mempertanyakan.
Warganet lain menduga pejabat yang mewacanakan peralihan kompor gas ke induksi tak pernah melihat istri memasak pakai kompor gas. Bahkan, dinilai tak pernah kesulitan membayar tagihan listrik.
Ada pula warganet yang menilai kompor induksi layak digunakan untuk jenis makanan yang simple dan proses memasak sebentar. Beda halnya dengan jenis masakan Indonesia, bahkan berdampak boros energi.
"Induksi ya karena jenis makanannya yang simpel dan proses memasaknya sebentar. Hal itu agak sulit diterapkan ke masakan Indonesia yang kebanyakan proses masaknya lama. Pemerataan panas pada kompor induksi gak cocok dengan masakan Indonesia. Malah akan lebih boros energi listrik," ujar akun @nurfiadi1.
Akun @snogthenbite justru berkomentar soal kesulitan memasak makanan khas Sumatera Barat, seperti rendang, menggunakan kompor induksi.
Sebagai informasi, rendang yang merupakan makanan khas asal Sumatera Barat diolah di tungku perapian terbilang lama, yaitu sekitar 4 jam sampai 5 jam.
Sebelumnya, Plt Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan sedang melakukan uji coba konversi LPG 3 kg ke kompor listrik.
Uji coba dilakukan di tiga kota, yakni Denpasar, Solo, dan salah satu kota di Sumatera.
"Ini uji coba untuk melihat penerimaan masyarakat sekaligus mempelajari aspek tekniknya, misalnya berapa kapasitas daya tungku yang cocok," imbuh Dadan. [tum]