Alperklinas.WahanaNews.co | Capaian bauran EBT hingga akhir 2021 baru mencapai 11,5% dari total bauran energi primer, masih jauh dari target 23% pada 2025 mendatang.
Energi Baru Terbarukan (EBT) RI bisa dikatakan masih terabaikan.
Baca Juga:
PLN Siap Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2040 Lewat Kolaborasi Swasta
Adapun salah satu penyebab kurang berkembangnya energi terbarukan RI ini yaitu karena kurang seriusnya dan kurang perhatiannya pemerintah terhadap sektor energi ini. Padahal, energi baru terbarukan merupakan sumber energi hijau, bersih, dan bisa menjadi sumber energi untuk daerah terpencil.
Hal tersebut diungkapkan oleh salah satu praktisi energi terbarukan, Tri Mumpuni. Tri menilai, bila pemerintah serius mendukung energi baru terbarukan ini, maka setiap desa, bahkan desa terpencil, bisa memenuhi kebutuhan energinya sendiri tanpa harus bergantung pada sumber energi lain.
"Kendala terbesar pengembangan EBT yaitu tidak pernah ada keseriusan, perhatian pemerintah untuk sediakan EBT locally," tuturnya dalam acara 'Sarasehan 100 Ekonom 2022' CNBC Indonesia, Rabu (07/09/2022).
Baca Juga:
PLN Siap Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2040 Lewat Kolaborasi Swasta
Dia pun menceritakan betapa susahnya mengembangkan EBT di negara ini. Sejak 1997 pihaknya telah mengusulkan pengembangan energi secara lokal sesuai dengan sumber energi di daerah masing-masing atau "community based-power supply". Dengan demikian, sumber energi di daerah tersebut tidak perlu disambungkan dengan jaringan listrik milik PT PLN (Persero) (offgrid) yang tentunya akan membutuhkan infrastruktur listrik lebih besar.
Menurutnya, opsi sumber energi tersebut yang berada di luar jaringan listrik PLN (offgrid) akan sangat cocok dikembangkan di sejumlah daerah terpencil semacam Maluku, Papua, dan lainnya.
"Ini sudah kita lakukan, sudah kita usulkan sejak 1997, dan tidak pernah didengar," ungkapnya berapi-api.
Padahal, lanjutnya, bila pengembangan EBT di setiap daerah dilakukan, maka sektor pangan di daerah tersebut juga akan maju.
"Kalau ada energi, pangan pasti maju, pertanian di daerah terpencil bisa lebih maju," ujarnya.
Tak hanya itu, lanjutnya, sulit berkembangnya EBT di negara ini karena Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor kelistrikan yakni PT PLN (Persero) hanya dijadikan sebagai "sapi perah" dan "kambing hitam".
Menurutnya, sulitnya pengembang listrik EBT untuk bekerja sama dengan PLN juga dipicu oleh "paksaan" agar PLN membeli energi fosil, utamanya batu bara.
"PLN kasihan, seperti selalu jadi kambing hitam dan sapi perah karena setiap akan terima EBT, masuk ke PLN sulit banget, padahal tinggal ngambil. Kalau dari dulu dikasih space EBT luas ya.. tapi kita tahu siapa yang punya batu bara besar-besar," ungkapnya.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), batu bara masih mendominasi bauran energi primer RI, yakni tercatat mencapai 38% hingga akhir 2021. Menyusul batu bara ada minyak bumi 31,2%, lalu gas 19,3% dan terakhir EBT 11,5%.
Hal senada diungkapkan Berly Martawardaya, Direktur Riset INDEF. Berly menyebut, masih mendominasinya batu bara atau pemakaian listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) ini karena adanya asumsi harga batu bara murah.
Padahal, di sisi lain, dengan harga pasar saat ini, harga batu bara sudah melonjak tajam, dan batu bara memiliki dampak eksternal terhadap lingkungan yang tidak dihitung.
"Challenge kita keburu bangun PLTU dengan asumsi harga batu bara murah. Padahal, sekarang secara faktual EBT lebih murah karena batu bara sekarang disubsidi, ada harga DMO (Domestic Market Obligation), harga dipatok," paparnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, pemerintah harus segera merevisi dari sisi perencanaannya.
"Oleh karena itu, kita harus koreksi planning, sehingga transisi ke EBT bisa secepatnya," ucapnya. [tum]