Alperklinas.WahanaNews.co | Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengkritik kebijakan Presiden Joko Widodo soal penyetopan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara.
Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Eksekutif Nasional WALHI Dwi Sawung menilai kebijakan itu hanya omong kosong dan tidak menyelesaikan masalah. Sebab, PLTU yang belum dibangun tetapi sudah masuk Rencana Usaha Penyediaan tenaga Listrik (RUPTL) PLN tidak dibatalkan.
Baca Juga:
PLN Siap Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2040 Lewat Kolaborasi Swasta
"Hanya gimmick dan omong kosong. Tidak menyelesaikan masalah itu," kata Sawung dikututip dari CNNIndonesia.com di Kantor Walhi Nasional, Jakarta, Jumat (16/9).
Dia menilai kebijakan membatalkan rencana pembangunan PLTU yang sudah masuk di RUPTL sebenarnya bisa menjadi momen pemerintah untuk transisi ke energi terbarukan.
Sawung mengakui bahwa transisi tak bisa langsung besar karena Indonesia harus punya cadangan sebelum benar-benar menyetop PLTU batubara sepenuhnya. Oleh sebab itu, kata dia, penyetopan dimulai dari PLTU yang belum dibangun tetapi sudah masuk RUPTL.
Baca Juga:
PLN Siap Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2040 Lewat Kolaborasi Swasta
Apalagi, kata Sawung, PLTU di RUPTL yang belum dibangun masih banyak. Di sisi lain, etok energi dari PLTU yang ada juga sudah berlebih.
"Harusnya dibatalkan saja pembangunannya," ucapnya.
Direktur Eksekutif Nasional Walhi Zenzi Suhadi pun berpendapat kebijakan Jokowi itu juga tidak menyelesaikan permasalahan lingkungan. Penyetopan PLTU baru tidak mengurangi emisi, karena PLTU lama masih beroperasi.
"Kalau kita mau bicara iklim, skema yang dibangun di Indonesia harusnya phase out batubara. Kalau setop PLTU baru sebenanrnya tidak akan menurunkan angka emisi di Indonesia," kata Zenzi.
"Karena logikanya, PLTU akan tetap beroperasi selama batubra di Indonesia masih ada," imbuhnya.
Zenzi menilai Indonesia tak berani menyetop PLTU bukan hanya karena alasan biaya transisi ke energi terbarukan lebih mahal. Menurutnya, Indonesia terlalu mengikuti logika pengusaha batubara.
"Kalau kebijakan di Indonesia memang menurunkan emisi, batubara itu harus setop total," ucapnya.
Padahal, kata dia, Indonesia merupakan negara tropis. Dengan kondisi itu, energi bisa diproduksi oleh siapa saja dan tidak tergantung pada pengusaha batubara.
"Sistem energi Indonesia kan sentralistrik. Sentralistik ini yang membuat pengusaha menjadi penerima manfaat prosuksi dan distribusi energi di Indonesia," ucap Zenzi.
"Mestinya energi Indonesia itu desentraslisasi. Rakyat yang produksi listrik negara yang beli. Kelebihannya dayanya didistribusikan industri," imbuhnya.
Diberitakan, Jokowi melarang pembangunan atau pengembangan PLTU berbasis batu bara baru. Namun, ia juga masih memperbolehkan beberapa pembangunan PLTU berbasis batu bara dengan beberapa syarat.
Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Listrik, yang berlaku mulai 13 September 2022. [tum]