"Namun, pada kenyataannya DPT 2016 tidak pernah dibuat," kata Ketut dalam keterangan pers, Selasa (26/7).
Sepanjang pengadaan proyek tower, PLN diduga selalu mengakomodasi permintaan dari ASPATINDO, sehingga dianggap memengaruhi hasil pelelangan dan pelaksanaan pekerjaan yang dimonopoli oleh PT Bukaka. Adapun Direktur Operasional PT Bukaka merangkap sebagai Ketua ASPATINDO.
Baca Juga:
Pemerintah Putuskan Tarif Listrik PLN Triwulan III Tetap
Setelahnya, PT Bukaka dan 13 penyedia tower lainnya yang bergabung dalam ASPATINDO melakukan pekerjaan dalam periode kontrak Oktober 2016-Oktober 2017. Realisasi pekerjaan itu mencapai 30 persen.
Setelah periode kontrak berakhir, penyedia tower masih mengerjakan proyek selama November 2017-Mei 2018 tanpa ada legal standing.
"Yang kondisi tersebut memaksa PT PLN (persero) melakukan adendum pekerjaan pada bulan Mei 2018 yang berisi perpanjangan waktu kontrak selama satu tahun," ujar Ketut.
Baca Juga:
Kolaborasi Lintas Sektor Kembangkan PLTP, PLN Siap Dorong Transisi Energi Nasional
Ketut melanjutkan, penyidik menduga PLN dan penyedia tower juga melakukan adendum kedua untuk penambahan volume dari 9.085 tower menjadi kurang lebih 10.000 set tower. Mereka pun melakukan perpanjangan waktu pengerjaan sampai dengan Maret 2019 karena pekerjaan belum selesai.
"Ditemukan tambahan alokasi sebanyak 3.000 set tower di luar kontrak dan addendum," katanya.
Dalam penyidikan kasus ini, Kejagung telah memeriksa tiga pejabat PT PLN Persero pada Senin (25/7).