Namun secara rinci, pemerintah membagi penetapan Batas Atas Emisi GRK (BAE) pada tiga klasifikasi, yaitu PLTU non Mulut Tambang dengan kapasitas di atas 400 MW, PLTU non Mulut Tambang dengan kapasitas 100-400 MW, dan PLTU Mulut Tambang dengan kapasitas di atas 100 MW.
Pengecualian tersebut dilakukan, ungkap Rida, karena mempertimbangkan faktor pelayanan penyediaan listrik kepada masyarakat. Lantaran memiliki kapasitasnya kecil, namun secara fungsi PLTU dengan kapasitas 25-100 MW tersebut merupakan tulang punggung suplai kelistrikan di luar Pulau Jawa.
Baca Juga:
Sufmi Dasco Hubungi Presiden Prabowo Terkait Polemik Distribusi LPG 3 Kg
"Jangan sampai mengurangi pelayaanan penyediaan listrik, karena karbon tinggi kemudian ditutup dan gelap gulita, itu buat kita tidak elok. Kalau ini ditutup karena alasan emisi, sementara penggantinya belum ada, jangan sampai seperti itu," ungkap Rida.
Kementerian ESDM sendiri tengah menyiapkan regulasi berupa Rancangan Peraturan Menteri ESDM tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon (NEK) pembangkit tenaga listrik. Adapun usulan mekanismenya yakni Surat Persetujuan Teknis Eemisi (PTE) pada PLTU batu bara diterbitkan oleh Menteri ESDM melalui Ditjen Ketenagalistrikan.
Kemudian, surat PTE diberikan kepada unit instalasi PLTU batu batu bara dalam satuan ton CO2e atau ton karbon dioksida ekuivalen dan berdasarkan dari nilai batas atas emisi (ton CO2e/MWh) yang dikalikan produksi bruto (MWh) yang direncanakan pada awal tahun.
Baca Juga:
Pemerintah Genjot Elektrifikasi di Maluku, Bahlil Tinjau SPBU hingga SPKLU
"Trading dilakukan antar peserta uji coba dengan penerapan maksimum trading dari unit pembangkit surplus dibatasi sebesar 70% dan offset ditetapkan dari aksi mitigasi pembangkit EBT (energi baru terbarukan) sebesar 30%," papar Rida. [tum]