Alperklinas.id | Pemerintah masih terus menggarap Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) soal tarif pembelian tenaga listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) oleh PT PLN (Persero).
Salah satu substansi di dalam Rancangan Perpres ini adalah kewajiban PLN untuk membeli listrik dari energi terbarukan.
Baca Juga:
Polisi Tembak Polisi di Solok Selatan, Kasus Masih dalam Penyelidikan
Selain itu, poin penting lainnya dalam Rancangan Perpres ini yaitu pemberian biaya penggantian oleh pemerintah kepada PLN apabila pembelian listrik energi terbarukan menyebabkan peningkatan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik PLN.
Dengan adanya kata "wajib", maka ini artinya membeli listrik dari energi terbarukan bukanlah pilihan bagi PLN, melainkan kewajiban.
Begitu pun ketika harga listrik berbasis energi terbarukan ini lebih mahal dan pemerintah akan memberikan kompensasi kepada PLN, artinya PLN harus membeli listrik energi terbarukan pada berapa pun harga listriknya.
Baca Juga:
Setyo Budiyanto Terpilih sebagai Ketua KPK: OTT Tetap Senjata Utama
Apakah ini peraturan yang bijak dan tepat? Terutama di tengah kondisi kelistrikan Tanah Air yang tengah melimpah dan adanya aturan serupa pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara di mana ada skema Take or Pay (TOP) di mana PLN juga harus mengambil listrik terkontrak atau membayar denda meski tengah kelebihan pasokan.
Mantan Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Tumiran pun angkat bicara mengenai rencana aturan baru energi terbarukan ini.
Dia mengatakan, jika di hulu terus-terusan ditekan, sementara permintaan di hilirnya belum bergerak, maka akan berdampak pada pasokan listrik yang akan semakin berlebih.
Pembangkit batu bara saat ini menurutnya masih sanggup untuk menopang beban, namun ketika pembangkit EBT dipaksa untuk masuk, maka tentunya akan berdampak pada pasokan listrik yang semakin berlebih.
Ketika ini terjadi dan PLN dipaksa tetap harus membeli listrik EBT baru, termasuk pada harga berapa pun, maka diperkirakan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik PLN akan semakin membengkak. Kalau pun ada kompensasi diperkirakan akan memakan waktu bagi pemerintah untuk membayarnya ke PLN.
"Kan pembangkit idle harus dikurangi kapasitasnya, kalau dikurangi biaya produksi naik. Ditambah EBT, bisa gak produksi lebih murah, kalau gak, BPP naik. Kalau BPP naik, kompensasi bisa lari ke tarif dan kompensasi negara," jelasnya, dikutip Jumat (05/11/2021).
Pemerintah punya target bauran energi 23% pada 2025 mendatang, di mana pemanfaatan energi surya melalui Pembangkit Listrik Energi Surya (PLTS) menjadi salah satu yang didorong untuk mencapai target bauran.
Sayangnya, RI belum punya pabrikan yang memadai untuk memproduksi solar panel. Saat ini mayoritas solar panel di dunia adalah buatan China, mencapai sekitar 70%-80%.
Khusus untuk PLTS Atap guna mempercepat pemanfaatannya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bakal merevisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 49 Tahun 2018 jo No. 13/2019 jo No.16/2019 tentang Penggunaan Sistem PLTS Atap oleh Konsumen PT PLN (Persero).
Salah satu poin yang direvisi dalam Peraturan Menteri ESDM ini yaitu mengenai ketentuan ekspor listrik ke PT PLN (Persero), yang mulanya dibatasi 65%, direvisi menjadi 100%.
Tumiran berpandangan, pemanfaatan EBT dengan mengandalkan produk impor menjadi sesuatu yang tidak adil. Menurutnya, ini hanya memfasilitasi impor saja dan menyebabkan BPP naik yang ujungnya bakal dikompensasi oleh negara.
"Sama saja negara kompensasi, skema gak sesederhana kompensasi kejar EBT. Yang perlu digerakkan adalah hilirnya, kalau bergerak pembangkit fosil turun, inject EBT positif," jelasnya.
Dia mengaku tidak sepakat jika pengembangan energi terbarukan malah membuat devisa tersedot. Menurutnya, desain dari target bauran energi 23% pada 2025 mendatang salah satu fungsinya adalah menciptakan lapangan kerja baru.
"Memperkuat EBT dalam negeri, lapangan kerja dan ketahanan energi. Bukan kebijakan disusun fasilitasi impor," paparnya. '
Lebih lanjut dia mengatakan, kondisi ini hanya akan menguntungkan pengembang dan mungkin juga importir EBT. Menurutnya kebijakan yang dibuat mestinya kebijakan yang menumbuhkan industri, lapangan kerja, dan perkembangan teknologi dalam negeri.
"Kompensasi catatan saya, industri di dalam negeri still oke, kalau kompensasi impor janganlah, devisa kesedot dikompensasi lagi," tandasnya. [ams]