Alperklinas.id | PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) memprediksi kebutuhan investasi hingga Rp 9.000 triliun guna memenuhi kebutuhan listrik sampai tahun 2060 mendatang.
Wakil Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengungkapkan, besaran pasar listrik saat ini mencapai 250 Tera Watt Hour (TWh).
Baca Juga:
Kenang Ryanto Ulil, Brigjen TNI Elphis Rudy: Saya yang Antar Dia Jadi Polisi, Kini Antar ke Peristirahatan Terakhir
Pasar listrik diperkirakan bakal mencapai 1.800 TWh di 2060 mendatang. Untuk memenuhi kebutuhan pasar listrik tersebut, maka PLN memperkirakan perlu ada tambahan pembangkit listrik sebanyak 250 GW hingga 280 GW.
Dari besaran itu, sebagian besar diharapkan dapat dipenuhi dari sektor Energi Baru Terbarukan (EBT).
"250 GW sampai 280 GW itu biayanya butuh berapa? Ya dikalikan saja 2,5 jadi sekitar US$ 600 miliar hingga US$ 700 miliar atau setara Rp 9.000 triliun. Itu besar sekali," jelas Darmawan dalam Webinar Kompas Talks bersama PLN, Kamis (21/10).
Baca Juga:
OTT di Bengkulu, KPK Amankan 8 Pejabat dan Sita Sejumlah Uang Tunai
Kendati demikian, Darmawan mengungkapkan saat ini mulai ada peluang investasi internasional untuk sektor EBT mengingat banyak negara sudah tidak mau lagi membiayai PLTU. Sebelumnya, Darmawan mengungkapkan upaya mendorong EBT memang memerlukan kolaborasi dan inovasi mengingat harga EBT yang masih mahal serta kebutuhan investasi untuk EBT juga tergolong besar.
"Perlu investasi besar-besaran. Untuk 10 tahun ini dibutuhkan US$ 35 miliar, sekitar Rp 500 triliun," ujar Darmawan dalam diskusi virtual, akhir September lalu. Kendati demikian, Darmawan memastikan ketertarikan investasi pada sektor EBT makin tinggi.
Hal ini terlihat dari langkah PLN mengkonversi Pembangkit Listrik tenaga Diesel ke EBT yang mendapatkan tanggapan positif dari dunia internasional.
Dikonfirmasi terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengungkapkan, penambahan 51,6% pembangkit EBT yang direncanakan dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 mencapai hingga US$ 75 miliar.
"Total kebutuhan investasi pembangkit sekitar US$ 65 miliar hingga US$ 75 miliar," jelas Fabby kepada Kontan, Kamis (21/10).
Fabby menjelaskan, sebagai gambaran kebutuhan investasi untuk Pembangkit Listrik tenaga Surya (PLTS) Utility Scale sebesar US$ 0,7 juta hingga US$ 0,9 juta per MW bergantung pada size dan lokasi.
Investasi untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) sebesar US$ 3 juta hingga US$ 4 juta per MW, sementara investasi Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTMH) sebesar US$ 2,5 juta hingga US$ 3 juta per MW.
Adapun, investasi untuk Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) sebesar US$ 1,2 juta hingga US$ 1,3 juta per MW.
Mengenai rencana early retirement PLTU dengan skema Energy Transition Mechanism (ETM), Fabby menjelaskan, dengan skema ini maka masa sisa kontrak PLTU atau nilai aset PLTU dapat di buy out, serta pemilik PLTU akan diminta untuk berinvestasi pada pembangkit Energi Terbarukan. "Ada potensi 12-16 GW PLTU yang bisa pensiun dini. Kriterianya adalah pembangkit jenis sub-critical, efisiensi rendah, dan emisinya tinggi," pungkas Fabby. [frs]