WahanaNews-Alperklinas | Penutupan PLTN menandai berakhirnya era nuklir di Jerman yang telah berlangsung lebih dari enam dekade.
Tiga Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) terakhir di Jerman berhenti beroperasi mulai hari ini, Sabtu (15/4).
Baca Juga:
Jepang Tegaskan Pelepasan Air Olahan ALPS Fukushima Penuhi Standar Keamanan Internasional
Disadur dari CNN, melansir CNNIndonesia, penggunaan tenaga nuklir ini telah lama diperdebatkan di Jerman. Sejumlah pihak ingin mengakhiri ketergantungan pada teknologi yang mereka anggap tidak berkelanjutan, berbahaya, dan mengganggu percepatan energi terbarukan.
Namun di sisi lain, pihak lain menilai penghentian PLTN sebagai tindakan yang picik, lantaran mematikan sumber energi rendah karbon yang diperlukan untuk mengurangi polusi.
Kendati demikian, pemerintah Jerman tetap teguh menutup PLTN.
Baca Juga:
Utusan China Serukan Pengawasan Internasional atas Pembuangan Nuklir PLTN Fukushima
"Posisi pemerintah Jerman jelas, tenaga nuklir tidak ramah lingkungan, juga tidak berkelanjutan," kata Menteri Federal Jerman untuk Lingkungan Steffi Lemke kepada CNN, Sabtu (15/4).
"Kami memulai era baru produksi energi."
Rencana puluhan tahun
Penutupan tiga PLTN yakni Emsland, Isar 2, dan Neckarwestheim merupakan puncak dari rencana yang dijalankan lebih dari 20 tahun yang lalu, bahkan lebih.
Pada 1970-an, gerakan anti-nuklir yang kuat di Jerman muncul, termasuk kelompok yang memprotes lantaran khawatir tentang risiko yang ditimbulkan. Bagi sebagian orang, risiko ini juga terkait senjata nuklir.
Gerakan tersebut melahirkan Partai Hijau, yang kini menjadi bagian dari koalisi pemerintahan.
Pada tahun 2000, pemerintah Jerman kemudian berjanji untuk menghentikan tenaga nuklir dan mulai mematikan pembangkit listrik.
Namun, ketika pemerintahan baru berkuasa pada tahun 2009, tampaknya nuklir mendapatkan napas baru, dan kemudian difungsikan sebagai teknologi penghubung untuk membantu negara beralih ke energi terbarukan.
Tak lama setelahnya, tragedi Fukushima terjadi. Pada Maret 2011, gempa bumi dan tsunami menyebabkan tiga reaktor pembangkit listrik Fukushima Daiichi porak poranda. Mayoritas orang di Jerman menganggap bencana nuklir tersebut menjadi bencana terburuk di Jepang.
Tiga hari kemudian Kanselir Angela Merkel --seorang fisikawan yang sebelumnya pro nuklir-- berpidato dan menyebut bencana itu sebagai 'malapetaka yang tak terbayangkan bagi Jepang' dan 'titik balik' bagi dunia.
Saat itu juga Angela mengumumkan Jerman akan mempercepat penghapusan nuklir, ditandai dengan penutupan pabrik dengan usia yang lebih tua.
Namun, Invasi Rusia ke Ukraina memberikan cerita lain.
Khawatir akan keamanan energinya tanpa gas Rusia, pemerintah Jerman menunda rencananya untuk menutup tiga PLTN terakhir pada Desember 2022.
Beberapa orang pun mendesak agar pemerintah Jerman memikirkan ulang keputusan itu. Tetapi pada akhirnya pemerintah menolak dan setuju untuk tetap menjalankannya hanya sampai 15 April 2023.
Bagi mereka yang berada dalam gerakan anti-nuklir, ini adalah momen kemenangan.
"Ini adalah pencapaian besar bagi jutaan orang yang telah memprotes nuklir di Jerman dan di seluruh dunia selama beberapa dekade," kata juru bicara Greenpeace Paul-Marie Manière kepada CNN.
Energi polarisasi
Bagi para pengkritik kebijakan Jerman, mematikan sumber energi rendah karbon dianggap tidak masuk akal, karena akan memperparah krisis iklim.
"Kita perlu menjaga agar reaktor nuklir yang aman tetap beroperasi sambil secara bersamaan meningkatkan energi terbarukan secepat mungkin," kata seorang profesor kebijakan iklim dan energi di University of California Leah Stokes.
Jerman juga berencana mengganti sekitar 6 persen listrik yang dihasilkan oleh tiga pembangkit nuklir dengan energi terbarukan, selain juga gas, dan batu bara.
Lebih dari 30 persen energi Jerman berasal dari batu bara, dan pemerintah telah membuat keputusan kontroversial untuk beralih ke batu bara untuk membantu keamanan energi.
Jerman tercatat telah berjanji untuk menutup pembangkit listrik tenaga batu bara terakhirnya paling lambat tahun 2038, dengan batas waktu 2030 di beberapa daerah.
Hal itu bertujuan agar 80 persen listrik berasal dari energi terbarukan pada akhir dekade ini.
Perwakilan industri energi terbarukan Jerman mengatakan penutupan pembangkit listrik tenaga batu bara itu akan membuka pintu bagi lebih banyak investasi untuk energi bersih.
"Penghapusan tenaga nuklir Jerman adalah peristiwa bersejarah dan langkah terlambat dalam hal energi," kata Presiden Federasi Energi Terbarukan Jerman (BEE) Simone Peter, "Sudah saatnya kita meninggalkan era nuklir dan secara konsisten mengatur era terbarukan," imbuhnya.
Masalah jutaan tahun
Saat ini Jerman harus mencari solusi untuk limbah radioaktif tingkat tinggi yang mematikan, yang dapat tetap berbahaya selama ratusan ribu tahun.
Saat ini, limbah nuklir disimpan di penyimpanan sementara di sebelah pembangkit nuklir yang dinonaktifkan. Namun mereka harus terus mencari lokasi permanen penyimpanan untuk satu juta tahun.
Sebab lokasinya harus dalam, ratusan meter di bawah tanah. Hanya jenis batu tertentu yang dapat digunakan: granit kristal, garam batu, atau batu tanah liat. Dan letaknya harus stabil secara geologis tanpa risiko gempa bumi atau tanda-tanda sungai bawah tanah.
Melihat persyaratan itu, maka kemungkinan proses pemindahannya akan berlangsung rumit dan sangat lama dan diprediksi berpotensi berlangsung lebih dari 100 tahun.
Perusahaan Federal untuk Pembuangan Limbah Radioaktif, BGE, memperkirakan lokasi akhir pemindahan belum ditemukan hingga antara tahun 2046 dan 2064.
Setelah itu, dibutuhkan waktu puluhan tahun lagi untuk membangun tempat penyimpanan, mengisinya dengan limbah, dan menyegelnya.
Apa yang dilakukan negara lain?
Banyak negara lain menapaki jalan yang mirip dengan Jerman. Denmark mengeluarkan resolusi pada 1980-an untuk tidak membangun pembangkit listrik tenaga nuklir.
Kemudian Swiss memilih pada 2017 untuk menghapus tenaga nuklir, Italia menutup reaktor terakhirnya pada 1990 dan satu pembangkit nuklir Austria tidak pernah digunakan.
Namun, dalam konteks perang di Ukraina, lonjakan harga energi dan tekanan untuk mengurangi polusi karbon, masih ada negara lain yang menginginkan nuklir sebagai salah satu sumber tenaga listrik.
Inggris, yang saat ini dalam proses membangun pembangkit listrik tenaga nuklir, mengatakan dalam strategi iklimnya baru-baru ini bahwa energi tenaga nuklir memiliki peran 'penting' dalam 'menciptakan energi yang aman, terjangkau, dan bersih.
Prancis, yang mendapatkan sekitar 70 persen tenaganya dari nuklir, sedang merencanakan enam reaktor baru. Demikian pula dengan Finlandia yang membuka pembangkit nuklir baru tahun lalu.
Bahkan Jepang, yang masih berurusan dengan nuklir akibat Fukushima, sedang mempertimbangkan untuk memulai kembali reaktor.
AS sebagai pemilik tenaga nuklir terbesar di dunia, juga berinvestasi dalam energi nuklir, dan pada bulan Maret, memulai reaktor nuklir baru, Vogtle 3 di Georgia-yang pertama dalam beberapa tahun. [tum/cnnindonesia]