WahanaNews-Alperklinas | Sebagai upaya pemerintah dalam mencapai target netral emisi karbon atau Net Zero Emission yang telah ditentukan tahun 2060 atau lebih cepat, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) berencana untuk mematikan atau memensiunkan dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara.
Namun, rencana Presiden Jokowi menyuntik mati PLTU batu bara kelihatannya masih harus menemu sejumlah masalah.
Baca Juga:
Pemkab Batang Apresiasi Kontribusi PT Bhimasena Power dalam Layanan Kesehatan dan Pembangunan
Ketua Indonesia Mining & Energy Forum (IMEF), Singgih Widagdo mengungkapkan bahwa Indonesia setidaknya masih menghadapi dua permasalahan utama dalam memensiunkan PLTU yang ada. Pertama, masalah finansial yang masih menghambat proses pemensiunan PLTU di Tanah Air.
"Menuju transisi dan itu jadi komitmen internasional di NZE 2060 dan itu tentunya perlu dukungan bukan hanya masalah teknologi, tapi bagaimana finansial dr international fund yang bisa masuk ke tempat kita untuk mempercepat itu," ujarnya dalam program 'Mining Zone' CNBC Indonesia, dikutip Kamis (27/4/2023), melansir dari CNNIndonesia.
Nyatanya, memensiunkan PLTU batu bara di Indonesia membutuhkan biaya yang tidak kecil. analisis dari lembaga kajian Transition Zero mengungkapkan bahwa kebutuhan dana untuk mempensiunkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di Indonesia cukup besar.
Baca Juga:
Usut Tuntas Skandal Proyek PLTU 1 Kalbar, ALPERKLINAS: Jangan Sampai Pasokan Listrik ke Konsumen Terhambat
Permasalahan finansial, sebut Singgih, tidak hanya dialami oleh Indonesia saja. Hal itu mengingat adanya pandemi Covid-19 juga turut berpengaruh pada keadaan finansial berbagai negara termasuk Amerika Serikat (AS).
"Kenyataan kita juga terjebak kepada kondisi covid-19 saat itu, sehingga negara-negara di Eropa juga dihadapkan pada masalah finansial yang cukup berat, termasuk AS yang inflasi tinggi bahkan perlu capital inflow. Sehingga ini akan berpengaruh," tambahnya.
RI paling tidak memerlukan US$ 37 miliar atau setara Rp 569 triliun (kurs rupiah Rp 15.396 per dolar AS) untuk menghentikan 118 pembangkit listrik batu baranya lebih awal.
Laporan tersebut juga menemukan bahwa dengan menghentikan PLTU batu bara Indonesia pada tahun 2040, paling tidak akan menghasilkan penghematan emisi sekitar 1,7 GtCO2, setara dengan hampir tiga tahun emisi tahunan Indonesia.
Permasalahan yang kedua, lanjut Singgih, Indonesia masih dihadapi dengan kurangnya teknologi yang bisa menggantikan batu bara dalam menghasilkan energi di PLTU batu bara. Salah satunya adalah dengan teknologi co-firing, yang mana co-firing memanfaatkan biomassa atau sampah sebagai pengganti batu bara dalam menghasilkan energi.
"Diharapkan dengan perencanaan pemensiunan dini, perencanaan co-firing PLTU yang ada, mencoba co-firing dari 1%, 5%, bahkan 10%, dan seterusnya ini diupayakan agar tahun 2060 itu komitmennya tetap berjalan," papar Singgih.
Dengan begitu, singgih mengungkapkan bahwa pemerintah terus berupaya agar target tersebut tidak meleset dan dijalankan melalui Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang telah ditetapkan.
"Namun apapun pemerintah akan mencoba melalui berbagai cara, sebisa mungkin tetap kita melakukan pada rel jalan yang telah ditetapkan. Baik melalui RUPTL yang telah istilahnya kita sebut green RUPTL yang dibuat PLN," tandasnya.
Untuk diketahui, PT PLN (Persero) sendiri mempunyai target nol bersih pada 2060 dan Indonesia memiliki sejumlah tujuan iklim yang berfokus pada dekarbonisasi sektor listrik.
Namun, struktur pasar listrik, khususnya Perjanjian Pembelian Tenaga Listrik (Power Purchase Agreement/PPA) yang dikombinasikan dengan subsidi bahan bakar fosil, telah lama menjadi kendala dalam penerapan energi terbarukan.
Selain itu, ketergantungan RI akan batu bara memang cukup besar, bahkan sekitar 70% listrik domestik dihasilkan dari batu bara pada tahun 2021. Indonesia juga merupakan pengekspor batu bara termal terbesar secara global.
Adapun, sektor ini mempekerjakan sekitar 250.000 orang, yang sebagian besar adalah pekerja terampil rendah. Namun, analisis tersebut menemukan bahwa mengganti PLTU batu bara Indonesia dengan tenaga surya akan menciptakan 5 pekerjaan baru untuk setiap hilangnya 1 pekerjaan langsung di pembangkit listrik, dengan catatan bahwa peningkatan keterampilan dan pelatihan ulang akan menjadi bagian penting dari rencana transisi.
[alpredo]