Alperklinas ID | Menyusul Amerika Serikat (AS) melarang impor minyak Rusia, harga minyak mentah dunia tembus menyentuh US$ 127,98 per barel pada perdagangan pagi hari ini, Rabu (9/3/2022).
Peningkatan harga minyak yang signifikan akibat perang Rusia dan Ukraina berpotensi memberikan tekanan terhadap kondisi fiskal, moneter, dan perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
Baca Juga:
Realisasi Investasi di Nagan Raya Aceh Tahun 2023 Naik Rp3,7 Triliun
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menjelaskan, dengan posisi sebagai net oil importer, porsi ketergantungan konsumsi energi nasional terhadap migas cukup besar, yakni 51%.
Dengan ketergantungan Indonesia terhadap migas tersebut ditambah harga minyak yang terus naik, memberikan tekanan terhadap neraca perdagangan migas nasional.
"Defisit neraca perdagangan migas yang ada akan semakin membesar," jelas Komaidi kepada CNBC Indonesia, Rabu (9/3/2022).
Baca Juga:
Polresta Bandung Ringkus Pelaku Penyalahgunaan BBM Subsidi Jenis Solar di Bojongsoang
Perolehan tambahan devisa dari kenaikan harga, tidak akan mampu menutup tambahan devisa yang diperlukan untuk mengimpor migas.
Komaidi menyebut, kebutuhan devisa untuk impor migas dengan asumsi harga minyak US$ 120 per barel dapat mencapai sekira US$ 49,27 miliar atau setara Rp 704,56 triliun (kurs Rp 14.300/US$).
"Terdistribusi untuk impor minyak dan produk BBM sekira US$ 44,04 miliar dan impor LPG sekira US$ 5,23 miliar," tuturnya.
Kebutuhan devisa impor migas mencapai 35% dari cadangan devisa Indonesia saat ini yang tercatat sebesar US$ 141 miliar.
Komaidi menyebut, setiap kenaikan harga minyak sebesar US$ 1 per barel, akan menambah penerimaan migas (Pajak & PNBP) pada APBN 2022 sekira Rp 3 triliun. Namun, kenaikan harga tesebut akan meningkatkan kebutuhan tambahan anggaran subsidi dan kompensasi migas dalam jumlah yang besar.
"Kenaikan harga yang dipicu konflik geopolitik dan perang seperti saat ini menegaskan bahwa meskipun di dalam era transisi energi, security supply/ keamanan pasokan migas tetap menjadi isu utama yang tidak dapat diabaikan," jelas Komaidi.
Menurut Komaidi penyelesaian mendasar atas persoalan naiknya harga minyak ini adalah melalui peningkatan produksi migas nasional dan pengembangan energi baru terbarukan (EBT) secara masif untuk mengurangi ketergantungan ekonomi energi Indonesia dari migas.
Dalam konteks tersebut, kata Komaidi dua pekerjaan besar perlu segera dituntaskan. "Adalah penyelesaian revisi Undang-Undang Migas dan penyelesaian penyusunan Undang-Undang EBT sebagai payung hukum yang kuat untuk lebih mendorong kegiatan pengusahaan dan pengembangan migas dan EBT nasional," tuturnya. [tum]