Alperklinas.WahanaNews.co | Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Bobby Gafur menjelaskan, persoalan tarif listrik energi terbarukan yang masih tinggi disebabkan oleh berbagai faktor yakni teknologi yang relatif masih lebih mahal dan keekonomian pembangkit.
Pengembangan energi terbarukan (ET) masih mengalami sejumlah kendala, utamanya harga listrik energi bersih ini dinilai masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan listrik berbasis energi fosil.
Baca Juga:
Layanan SuperSUN PLN, Inovasi Listrik Bersih 24 Jam, Dukung Kemajuan Masyarakat Kepulauan di Sulawesi Selatan
“Dari segi keekonomian, pembangkit listrik energi terbarukan dibandingkan dengan pembangkit batubara dari segi kapasitas berbeda jauh. PLTU bisa sampai bergiga-giga watt sedangkan kalau energi terbarukan apalagi PLTS rata-rata di bawah 5 MW,” jelasnya mengutip dari Kontan.co.id, Minggu (13/11)
Selain itu, saat ini harga teknologi energi terbarukan diakui Bobby masih cenderung mahal.
Namun, dia menegaskan, ada baiknya memperhitungkan pembangkit ET bukan hanya dari segi tarif listriknya saja. Menurutnya, jika pengembangan pembangkit energi bersih ini dikombinasikan dengan insentif fiskal dan masa konsesi yang panjang, proyek ET seharusnya sudah cukup feasible.
Baca Juga:
Energi Surya Jadi Sumber Cahaya Bagi Kehidupan Masyarakat Desa Tepian
“Hanya saja, para pemain EBT menjual listriknya yang lebih mahal kan pembelinya PLN. Sedangkan PLN masih punya opsi menjual listrik yang lebih murah dari PLTU,”
Di sisi lain, PLN saat ini juga sedang mengalami persoalan oversupply listrik di sistem jaringan Jawa-Bali sehingga penyerapan setrum dari energi terbarukan tidak bisa terlalu besar.
Dia mengatakan, apabila keekonomian antara pelaku usaha dan PLN tidak bertemu, seharusnya pemerintah mengisi celah tersebut dengan memberikan sejumlah insentif hingga keekonomian energi terbarukan mencapai pada titik yang diharapkan.