Kendati demikian, Faisal mengapresiasi langkah pemerintah dalam mengelola utang saat ini, terutama dilihat dari kepemilikan asing di surat utang negara atau surat berharga negara (SBN).
Porsi utang pemerintah saat ini, 88,55% berasal dari penarikan utang SBN, dan hanya 11,5% yang berasal dari pinjaman. Dirinci lagi, saat ini sebanyak 98,1% utang pemerintah adalah pinjaman dalam negeri. "Jadi praktis yang namanya utang luar negeri hanya 10% dari total utang," jelas Faisal.
Baca Juga:
Aksi Investor Borong SBN Picu Penguatan Rupiah ke Rp14.836 Per Dolar AS
Namun, Faisal memandang ketahanan utang di Indonesia dengan porsi lebih dominan dimiliki asing dalam bentuk SBN, dinilai rentan. Kalau Indonesia melakukan utang melalui pinjaman luar negeri bilateral, negara bisa mendapatkan bunga yang rendah.
"Kalau kita mau beban bunga turun, dibandingkan sangat berat saat ini, lebih bagus utang luar negeri. Ke Jepang bunga hanya 0,2%, masa pembayarannya 30 tahun, gross periodenya 10 tahun. Kalau ada masalah dengan ULN kita, bisa minta jadwal ulang dan lari ke Paris club, makanya OECD yang ngurusin utang luar negeri," jelas Faisal.
"Kalau mau penjadwalan ulang bicara di Paris, nanti di rescheduling utangnya, kita hapus utang-utang sebagian. Itu gunanya ULN. Kalau utang dengan surat utang (SBN), kalau ada masalah bebannya berat. Gak ada forumnya, ya pasar kita anjlok," kata Faisal lagi.
Baca Juga:
Karena Pertimbangan Ini, Pemerintah Resmi Terbitkan SBN Valas di Awal Tahun
Untuk diketahui, merujuk data Kementerian Keuangan posisi utang pemerintah hingga Juli 2022 telah mencapai Rp 7.163,12 triliun atau setara 39,56% dari produk domestik bruto (PDB). Nilai utang pada Juli 2022 tersebut naik 0,55% dibandingkan bulan lalu yang nilainya mencapai Rp 7.123,62 triliun. [tum]