Ia menilai kebijakan pembatasan itu justru membuat pemasangan PLTS atap jadi mahal sehingga tujuan masyarakat yang ingin berhemat dengan beralih ke energi surya tidak terpenuhi.
“Ini jadi kendala. Jelas, aturan (PLN) ini membuat PLTS jadi tidak ekonomis,” kata Fabby.
Baca Juga:
Pegang Indikasi Kuota Awal Pasang, Kementerian ESDM dan PLN Antisipasi Masuknya Daya Listrik Intermiten dari PLTS Atap
Ia menambahkan kebijakan pembatasan itu juga menghambat penerapan Pergub Bali No. 45 Tahun 2019 tentang Bali Energi Bersih dan Surat Edaran Gubernur Bali No. 5 Tahun 2022.
Padahal, potensi PLTS atap di Bali mampu memenuhi kebutuhan listrik di Pulau Dewata, kata Fabby yang merupakan Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI).
Ia menyebut kebutuhan listrik di Bali kurang lebih 1 Gigawatt (GW), yang dipasok dari beberapa pembangkit listrik di Pulau Bali dan Pulau Jawa. Sementara itu, potensi PLTS atap di Bali mencapai 3.200 Megawatt peak (MWp)—10.900 MWp atau sekitar 3,2 Gigawatt—10,9 Gigawatt.
Baca Juga:
Pasang PLTS Atap Ada Sistem Kuota, Ini Tujuannya
Data itu diperoleh dari kajian IESR, yang merupakan lembaga think tank untuk isu energi dan lingkungan, termasuk di antaranya energi bersih. “Kalau semua rumah di Bali pakai PLTS atap, maka itu sudah bisa memasok kebutuhan se-Bali,” kata Fabby Tumiwa. [tum]
