Laporan tersebut juga menemukan bahwa dengan menghentikan PLTU batu bara Indonesia pada tahun 2040, paling tidak akan menghasilkan penghematan emisi sekitar 1,7 GtCO2, setara dengan hampir tiga tahun emisi tahunan Indonesia.
Permasalahan yang kedua, lanjut Singgih, Indonesia masih dihadapi dengan kurangnya teknologi yang bisa menggantikan batu bara dalam menghasilkan energi di PLTU batu bara. Salah satunya adalah dengan teknologi co-firing, yang mana co-firing memanfaatkan biomassa atau sampah sebagai pengganti batu bara dalam menghasilkan energi.
Baca Juga:
Pemkab Batang Apresiasi Kontribusi PT Bhimasena Power dalam Layanan Kesehatan dan Pembangunan
"Diharapkan dengan perencanaan pemensiunan dini, perencanaan co-firing PLTU yang ada, mencoba co-firing dari 1%, 5%, bahkan 10%, dan seterusnya ini diupayakan agar tahun 2060 itu komitmennya tetap berjalan," papar Singgih.
Dengan begitu, singgih mengungkapkan bahwa pemerintah terus berupaya agar target tersebut tidak meleset dan dijalankan melalui Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang telah ditetapkan.
"Namun apapun pemerintah akan mencoba melalui berbagai cara, sebisa mungkin tetap kita melakukan pada rel jalan yang telah ditetapkan. Baik melalui RUPTL yang telah istilahnya kita sebut green RUPTL yang dibuat PLN," tandasnya.
Baca Juga:
Usut Tuntas Skandal Proyek PLTU 1 Kalbar, ALPERKLINAS: Jangan Sampai Pasokan Listrik ke Konsumen Terhambat
Untuk diketahui, PT PLN (Persero) sendiri mempunyai target nol bersih pada 2060 dan Indonesia memiliki sejumlah tujuan iklim yang berfokus pada dekarbonisasi sektor listrik.
Namun, struktur pasar listrik, khususnya Perjanjian Pembelian Tenaga Listrik (Power Purchase Agreement/PPA) yang dikombinasikan dengan subsidi bahan bakar fosil, telah lama menjadi kendala dalam penerapan energi terbarukan.
Selain itu, ketergantungan RI akan batu bara memang cukup besar, bahkan sekitar 70% listrik domestik dihasilkan dari batu bara pada tahun 2021. Indonesia juga merupakan pengekspor batu bara termal terbesar secara global.