Alperklinas ID | Layaknya wanita Papua lainnya, Mince Wenda (26), pandai merajut noken. Noken yang dibuat dari berbagai bahan serat pohon dan kulit kayu tersebut digunakan untuk mengisi, menyimpan, dan membawa berbagai barang.
Selain untuk keperluan sendiri, noken buatannya juga ia jual sebagai sumber mata pencaharian.
Baca Juga:
Masyarakat Resah Lampu PJU Padam di Jalan Lintas Sumatera Badiri Tapteng
Mince adalah seorang ibu rumah tangga yang tinggal Kampung Timi, Distrik Wereka, Lanny Jaya, Papua. Di sela kesibukan lainnya, siang hari adalah waktunya untuk merajut noken.
Namun, waktunya memiliki keterbatasan. Jika cuaca hujan atau berkabut dia terpaksa harus menunda pekerjaannya, apalagi kalau malam tiba ia sudah tidak bisa lagi berkerja.
"Jadi kalau dulu saya bikin noken waktu siang saja. Tidak bisa bikin noken di dalam (honai) karena gelap," kata Mince saat ditemui di rumahnya di Kampung Timi, Distrik Wereka, Lanny Jaya, Papua, Rabu (23/2).
Baca Juga:
Apakah Tidur Kondisi Gelap Lebih Baik untuk Kesehatan? Ahli Beri Jawaban Begini
Tak bisa dipungkiri, akses terhadap energi listrik sudah beralih menjadi kebutuhan dasar masyarakat. Pemanfaatan energi listrik baik untuk penerangan dan penggerak roda ekonomi menjadi hal yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan. Tak terkecuali bagi masyarakat di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T), seperti Mince.
Harapan datang ketika Pemerintah datang ke Kampung Timi dengan program Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE). Lampu surya itu memberikan secercah sinar bagi warga untuk melalui malam dengan lebih produktif. Malam di kampung halaman Mince kini tidak lagi sepi dan gelap.
Mince bercerita, sebelum adanya LTSHE, aktifitas di Kampung Timi berhenti sampai petang. Malam hari ia habiskan di honai, hanya untuk istirahat." Tapi sekarang ada lampu saya bisa bikin noken di malam hari. Terima kasih atas lampunya," ungkap Mince tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya.