Padahal, lanjutnya, bila pengembangan EBT di setiap daerah dilakukan, maka sektor pangan di daerah tersebut juga akan maju.
"Kalau ada energi, pangan pasti maju, pertanian di daerah terpencil bisa lebih maju," ujarnya.
Baca Juga:
PLN Siap Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2040 Lewat Kolaborasi Swasta
Tak hanya itu, lanjutnya, sulit berkembangnya EBT di negara ini karena Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor kelistrikan yakni PT PLN (Persero) hanya dijadikan sebagai "sapi perah" dan "kambing hitam".
Menurutnya, sulitnya pengembang listrik EBT untuk bekerja sama dengan PLN juga dipicu oleh "paksaan" agar PLN membeli energi fosil, utamanya batu bara.
"PLN kasihan, seperti selalu jadi kambing hitam dan sapi perah karena setiap akan terima EBT, masuk ke PLN sulit banget, padahal tinggal ngambil. Kalau dari dulu dikasih space EBT luas ya.. tapi kita tahu siapa yang punya batu bara besar-besar," ungkapnya.
Baca Juga:
PLN Siap Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2040 Lewat Kolaborasi Swasta
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), batu bara masih mendominasi bauran energi primer RI, yakni tercatat mencapai 38% hingga akhir 2021. Menyusul batu bara ada minyak bumi 31,2%, lalu gas 19,3% dan terakhir EBT 11,5%.
Hal senada diungkapkan Berly Martawardaya, Direktur Riset INDEF. Berly menyebut, masih mendominasinya batu bara atau pemakaian listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) ini karena adanya asumsi harga batu bara murah.
Padahal, di sisi lain, dengan harga pasar saat ini, harga batu bara sudah melonjak tajam, dan batu bara memiliki dampak eksternal terhadap lingkungan yang tidak dihitung.