Keempat, faktor penanggulangan limbah nuklir. Pemerintah harus bisa memastikan bahwa limbah yang dihasilkan nuklir benar-benar tersimpan dengan aman dan kuat.
Kelima, faktor geografis. Pemerintah juga harus bisa memastikan daerah yang akan dibangun PLTN bebas dari gempa dan gangguan alam yang bisa merusak PLTN.
Baca Juga:
Jepang Tegaskan Pelepasan Air Olahan ALPS Fukushima Penuhi Standar Keamanan Internasional
Keenam, faktor sosialisasi dan penerimaan masyarakat. Dalam hal ini, Mamit menilai pemerintah harus bisa mendapatkan persetujuan masyarakat dalam pembangunan PLTN.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai RUU ini tidak tepat karena memuat dua hal yakni energi baru dan energi terbarukan.
Menurut Fabby, isi RUU ini harusnya hanya berisi pengaturan tentang energi terbarukan seperti air, angin, panas, hingga biomassa.
Baca Juga:
Utusan China Serukan Pengawasan Internasional atas Pembuangan Nuklir PLTN Fukushima
"Harusnya RUU Energi Terbarukan. Tidak tepat ada Energi Baru. Apalagi Energi Baru di sini adalah soal batu bara dan nuklir (PLTN)," imbuhnya.
Fabby menilai jika pemerintah ingin mengembangkan PLTN, maka sebaiknya itu dilakukan melalui revisi UU Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran.
"Dengan demikian RUU ini bisa fokus pada pengembangan energi terbarukan yang selama ini tertinggal," tegasnya.