Sementara itu, Wakil Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, konsumsi batu bara untuk domestik sekitar 130 juta ton. Setiap ada kenaikan US$ 1 saja, maka biaya akan naik US$ 130 juta atau sekitar Rp 2 triliun.
Saat ini harga batu bara di pasar menurutnya ada di sekitar US$ 180 per ton dan harga DMO batu bara untuk pembangkit listrik saat ini US$ 70 per ton.
Baca Juga:
Tak Mau Pasok Batu Bara ke PLN, Menteri ESDM Sebut 71 Perusahaan Melanggar Aturan DMO
"Ada US$ 100 perbedaan, kira-kira 130 juta dikali US$ 100 maka US$ 13 miliar, kalau high rank coals, ini kan low rank coal jadi perbedaan bukan US$ 100 tapi US$ 60-70 kali 130 sekitar US$ 8-9 billion, penambahan Rp 130 triliun per tahun," jelasnya.
Dia menjelaskan, dari penambahan Rp 130 triliun ini, seperempatnya ditanggung dalam subsidi sebesar Rp 40 triliun, sedangkan tiga per empatnya akan masuk ke kompensasi sekitar Rp 80 triliun. Jika tariff adjustment (tarif penyesuaian golongan non subsidi) dibuka, maka ini akan dibebankan ke pelanggan PLN.
"Pendapatan negara bukan pajak berapa? berapa dari pajak? perlu dihitung dan kira-kira Rp 130 triliun PNBP dan pajak mungkin 40% jadi ada pendapatan pajak dan bukan 40-50%, sisanya di-absorb dari korporasi, ditanggung pemerintah Rp 40 triliun dan konsumen Rp 80 triliun," paparnya.
Baca Juga:
Harga Batu Bara Akan Meledak Lagi, Pengamat Sebut Keuntungan Besar Sudah di Tangan
Sebagai informasi, harga batu bara di pasar ICE Newcastle (Australia) pada perdagangan Selasa (16/11/2021) ditutup di US$ 151,25/ton, melesat 3,77% dibandingkan hari sebelumnya.
Harga si batu hitam mengalami technical rebound setelah turun selama lima hari perdagangan beruntun. Dalam lima hari tersebut, harga ambles 11,13%. (tum)