Angka tersebut bisa menurunkan emisi karbon hingga 3,72 juta kg CO2 dan mengurangi impor BBM sebesar 1,55 juta liter per tahun, mengubah energi impor menjadi energi domestik.
Terpisah, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira meyakini transisi dari penggunaan bahan bakar minyak ke bahan bakar hidrogen akan lebih cepat, apabila dibandingkan dengan konversi ke kendaraan listrik.
Baca Juga:
Bisa Produksi Green Hydrogen dengan Cepat, Begini Inovasi yang Dilakukan PLN
Ia lalu mencontohkan beberapa negara di dunia yang telah mengembangkan bahan bakar green hydrogen. Salah satunya seperti yang dilakukan di Afrika selatan.
Di negara tersebut, green hydrogen menjadi salah satu prioritas dalam transisi energi melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP) untuk dekarbonisasi transportasi khususnya menggantikan solar nelayan. Sementara di Inggris, bahan bakar hidrogen telah digunakan untuk menggantikan keberadaan mobil BBM.
"Progress dari hidrogen ini sangat cepat, bahkan transisi dari mobil BBM ke hidrogen diperkirakan lebih memungkinkan dibandingkan kendaraan listrik," kata Bhima kepada CNBC Indonesia.
Baca Juga:
PLN Hadirkan 21 Green Hydrogen Plants di Indonesia, Siap Menuju NZE 2060
Oleh sebab itu, ia optimistis peralihan penggunaan bahan bakar minyak ke hidrogen akan lebih berprogress daripada kendaraan listrik. Salah satu faktornya disebabkan karena rantai pasok baterai kendaraan listrik masih menggunakan material yang diperoleh dari pertambangan ekstraktif.
"Memiliki tingkat emisi karbon yang tinggi pada saat proses smelter dan sumber listrik utama nya di Indonesia masih gunakan batu bara. Jadi perusahaan otomotif khususnya pabrikan Jepang lebih tertarik masuk ke transisi hidrogen dibanding kendaraan listrik," kata dia.
Keuntungan Pakai Mobil Hidrogen