Penutupan tiga PLTN yakni Emsland, Isar 2, dan Neckarwestheim merupakan puncak dari rencana yang dijalankan lebih dari 20 tahun yang lalu, bahkan lebih.
Pada 1970-an, gerakan anti-nuklir yang kuat di Jerman muncul, termasuk kelompok yang memprotes lantaran khawatir tentang risiko yang ditimbulkan. Bagi sebagian orang, risiko ini juga terkait senjata nuklir.
Baca Juga:
Jepang Tegaskan Pelepasan Air Olahan ALPS Fukushima Penuhi Standar Keamanan Internasional
Gerakan tersebut melahirkan Partai Hijau, yang kini menjadi bagian dari koalisi pemerintahan.
Pada tahun 2000, pemerintah Jerman kemudian berjanji untuk menghentikan tenaga nuklir dan mulai mematikan pembangkit listrik.
Namun, ketika pemerintahan baru berkuasa pada tahun 2009, tampaknya nuklir mendapatkan napas baru, dan kemudian difungsikan sebagai teknologi penghubung untuk membantu negara beralih ke energi terbarukan.
Baca Juga:
Utusan China Serukan Pengawasan Internasional atas Pembuangan Nuklir PLTN Fukushima
Tak lama setelahnya, tragedi Fukushima terjadi. Pada Maret 2011, gempa bumi dan tsunami menyebabkan tiga reaktor pembangkit listrik Fukushima Daiichi porak poranda. Mayoritas orang di Jerman menganggap bencana nuklir tersebut menjadi bencana terburuk di Jepang.
Tiga hari kemudian Kanselir Angela Merkel --seorang fisikawan yang sebelumnya pro nuklir-- berpidato dan menyebut bencana itu sebagai 'malapetaka yang tak terbayangkan bagi Jepang' dan 'titik balik' bagi dunia.
Saat itu juga Angela mengumumkan Jerman akan mempercepat penghapusan nuklir, ditandai dengan penutupan pabrik dengan usia yang lebih tua.